Ada saatnya kita memandang perlu untuk mengekspresikan perasaan. Saat kita marah dan kesal, seperti ingin memukul maka: Kalau bisa di tahan, tahanlah!!! Kalau bisa ditunda, tundahlah!!! Sama ketika kita ingin menangis, kalau bisa tersenyum, tersenyumlah!!! Dan kalau bisa ditahan, tahanlah!! Ganti tangismu dengan senyumanmu niscaya kamu akan membahagiakan orang – orang yang ada si sekelilingmu
Contoh kisah pengembara yang mengespresikan perasaanya pada pasir dan batu berikut:
Ada dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang, hanya ada pasir membentang. Jejak – jejak kaki mereka meliuk – liuk di belakang. Membentukkurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tepaki. Debu – debu pasir yang berterbangan memaksa mereka berjalan merunduk.
Tiba – tiba badai gurun datang. Hembusanya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pakaian mereka menggelepak, menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga satu sama lain dengan berpegangan tangan erat. Mereka mencoba bertahan melawan gadasnya badai.
Badaipun reda, tapi musibah lain datang menimpa mereka. Kantong bekal air minum merka terbuka saat badai tadi. Isinya berceceran, entah gundukan pasir mana yang telah meneguknya. Kedua pengembara itupun duduk termenung menatapi kehilangan itu. “waduh, tamat riwayat kita” kata hasan, salah seorang diantara mereka. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. “kami sedih, kami kehilangan bekal minuman kami ditempat ini.” Kawanya, si taufiq pun tampak bingung. Namun, mencobah tabah. Membereskan perlengkapanya dan mengajak kawanya melanjutkan perjalanan.
Setelah lama menyelusuri padang pasir, mereka melihat ada oase dari kejauhan. “Kita selamat, seru diantara mereka.” Lihat, ada air di sana!” Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung bukan fatamorgana. Ini benar – benar sebuah kolam. Kecil, tapi airnya cukup banyak. Keduanyapun segera minum sepuas – puasnya dan mengisi kantong air.
Sambil beristirahat Hasan mengeluarkan pisau genggamanya dan memahat diatas sebuah batu di tepian oase. “Kami bahagia, kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini” itu kalimat yang dipahatnya. Si Taufiq heran, “Mengapa engkau menulis di atas batu, sementara tasi kamu menulis di pasir?”
Yang ditanya tersenyum. “Saat kita mendapat kesusahan, ujian dan cobaan apapun, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keiklasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,” jawabnya dengan bahasa cukup puitis. “Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu dibatu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biar catatan kebahagian itu tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada biarkan semuanya tersimpan.”