Apakah “Nasib” manusia telah tetap dan tidak ada apapun yang mampu mengubahnya sedikitpun ataukah manusia diberi kehendak bebas untuk mengubah takdirnya inilah persoalan “ nasib “ manusia.
Dalam bertanya tentang Takdir, sesungguhnya kita tidak perlu banyak berdebat dan bersanggahan. Ini tidak akan membantu kita memahami, kecuali menyadari adanya dua ekstrim pemahaman. Pertama, Takdir bagi manusia telah tetap, apapun yang dialami. Konon tidak ada apapun yang mampu mengubahnya sedikit pun. Manusia adalah ‘pasif’ seperti robot yang mengikuti perintah dan berjalan di jalur yang tetap. Tidak ada peran manusia di dalam takdir, takdir itu kaku. Segala sesuatu telah di tentukan tak guna daya upaya.
Pemahaman kedua, bahwa manusia diberi kehendak, manusia dikaruniai kebebasan memilih, memilah, dan menjalani pilihanya. Secara kasar, pemahaman ini mengatakan kalau takdir itu tidak ada. Salah satu rukun iman adalah meyakini adanya qadha dan qadhar. Namun tidaklah penting bagi kita untuk memilah segala perbuatan kita ke golongan (1) Qadha/ Qadhar, dan (2) yang bisa dipilih manusia. Just do it. Terlalu banyak memikirkan dan merisaukan apakah yang kita pilih termasuk takdir atau dapat benar – benar kita pilih tidaklah sama dengan benar – benar mengerjakanya. Kita memang harus menggunakan akal untuk berfikir, tapi hidup tidak hanya berjalan dengan kita memikirkanya, bertindak juga perlu.
Jatuhnya buah dari pohon, berjangkitnya penyakit, ataupun kecelakaan terjadi berdasarkan hokum yang telah ditetapkan Allah. Apabila seseorang tidak menghindar maka ia akan menerima akibatnya. Akibat tersebut dikatakan takdir, dan apabila ia dapat menghindar serta luput dari bahaya, itupula dapat disebut takdir. Anugrah pilihan terhadap manusia juga adalah satu bentuk takdir Allah.
Bagaimanapun takdir melingkupi seluruh kehidupan manusia. Apakah berupa kejadian baik ataupun buruk, yang keduanya dinilai relative dari mata manusia. Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan yang disebut takdir, sebab kejadian positif pun merupakan bentuk takdir.